Di gerbang milenium ketiga, peradaban manusia telah maju begitu rupa. Banyak pencapaian yang telah diraih, mulai dari yang sifatnya “nilai-nilai” (penghargaan atas kemanusiaan, kebebasan, hak atas informasi, dan semacamnya) hingga ke penemuan berbagai artefak kebudayaan.
Jauh sebelum penghujung milenium kedua tiba, revolusi teknologi informasi telah merambah ke segenap pelosok bumi. Berbagai perangkat teknologi yang ditemukan telah menghadirkan definisi baru tentang ruang dan waktu. Seiring dengan itu, berbagai proses sosial yang berwujud transformasi terjadi di mana-mana. Istilah yang paling populer untuk menjelaskan situasi ini adalah “globalisasi”. Secara sederhana, globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses sosial yang meruntuhkan batas-batas, sehingga dunia menjelma sebagai sepetak kampung. Globalisasi bukan semata fenomena ekonomi, tetapi juga menyangkut transformasi ruang dan waktu. Revolusi teknologi informasi dan massifnya intensitas komunikasi tingkat global memungkinkan manusia sekarang ini untuk melangsungkan model interaksi yang lambat laun berubah. Intensifikasi hubungan tingkat dunia ini selanjutnya akan melahirkan pola-pola relasi baru dalam bidang ekonomi, sosial, politik, komunikasi, pola perilaku sehari-hari, dan termasuk relasi antar-individu.
Meminjam cara penggambaran yang dibuat oleh Jean-Francois Lyotard, globalisasi dapat digambarkan demikian: seorang pemuda kampung di pedalaman Madura sedang mengobrol dengan saudaranya yang bekerja di sebuah hotel Amerika di Arab Saudi dengan menggunakan telepon genggam produk Finlandia, simcard yang dimodali oleh perusahaan Malaysia, dengan jasa piranti lunak buatan Australia. Dia sedang memesan jam tangan Swiss, dan sedang dipertimbangkan apa akan dikirim dengan jasa pengiriman perusahaan Belanda atau lewat tetangganya yang akan pulang ke kampung halaman.
Riwayat globalisasi sebagai efek lebih jauh dari berbagai produk teknologi dan sains dapat ditelusuri jauh ke belakang. Adalah filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) yang mula-mula meneguhkan metodologi ilmiah yang menjadi motor penggerak perkembangan sains, yakni dengan memperkenalkan metode (penalaran) induktif. Dalam paham Bacon, arah kerja filsafat dibalik: daripada mempersoalkan final causes (teleologi), filsafat sebaiknya mulai menyibukkan diri dengan efficient causes(kausalitas). Dari sini, eksprimentasi dan observasi kemudian didaulat sebagai ruh sains. Dan filsafat pun kemudian diberi basis praktis untuk kehidupan sehari-hari, sehingga dari situlah muncul diktum: knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan).1
Sains atau pengetahuan ilmiah bekerja dengan prinsip keterukuran. Cita-cita sains adalah kehendak untuk memegang kendali kehidupan dengan lebih besar, atau, dalam bahasa Giddens, untuk “membentuk sejarah menurut tujuan kita sendiri”. Dengan pencapaian sains dan teknologi, dunia diharapkan dapat lebih stabil dan tertata. Akan tetapi, kenyataannya, dunia yang hadir saat ini tak seperti yang diperkirakan oleh para pemikir itu. Bukannya menjadi lebih terkendali, dunia saat ini tampaknya menjadi tak terkontrol, menjadi dunia yang lari tunggang langgang (runaway world). Proses globalisasi membentuk corak masyarakat yang penuh risiko. Capaian-capaian ilmu pengetahuan dan teknologi manusia memang telah sanggup mengantarkan manusia pada status ontologis keserbapastian (ontological security). Namun, di sisi lain, berkat iptek pula, manusia dewasa ini terjebak dalam situasi keserbatakpastian, yang merupakan konsekuensi logis yang inheren dari sistem relasi yang diciptakan manusia sendiri (manufactured uncertainties). Relasi manusia dengan alam dan lingkungan, dengan dukungan teknologi industri yang eksploitatif, ternyata melahirkan efek-efek destruktif seperti pemanasan bumi, perusakan lapisan ozon, polusi, dan semacamnya. Risiko yang lahir dari pola-pola relasi itu tak syak lagi akan menjadi ancaman bagi keberadaan hidup manusia itu sendiri.2
Pembicaraan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk kegiatan pembelajaran yang belakangan ini marak dilakukan dalam konteks uraian di atas seperti dimaksudkan untuk mengarahkan produk teknologi agar dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan pengembangan pendidikan. Maksudnya, pembicaraan tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk pembelajaran sebenarnya berlangsung di atas kesadaran bahwa bagaimanapun fungsi produk teknologi itu dapat saja “lepas kendali” dan justru bergerak di wilayah yang dipandang negatif.
Posisi TIK
Kemudian, di manakah sebenarnya letak fungsi dan peran teknologi dalam aktivitas pembelajaran, khususnya teknologi informasi dan komunikasi? Untuk memahami ini, kita bisa kembali pada pengertian mendasar teknologi, sebagai bagian dari wujud kebudayaan (fisik) manusia. Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, technologia, techne yang berarti ‘keahlian’ dan logia yang berarti ‘pengetahuan’. Dalam pengertian yang sempit, teknologi mengacu pada objek benda yang dipergunakan untuk kemudahan aktivitas manusia, seperti mesin, perkakas, atau perangkat keras. Dalam pengertian yang lebih luas, teknologi dapat meliputi pengertian sistem, organisasi, juga teknik. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, pengertian teknologi menjadi semakin meluas, sehingga saat ini teknologi merupakan sebuah konsep yang berkaitan dengan jenis penggunaan dan pengetahuan tentang alat dan keahlian, dan bagaimana ia dapat memberi pengaruh pada kemampuan manusia untuk mengendalikan dan mengubah sesuatu yang ada di sekitarnya.3 Jadi, teknologi adalah semacam perpanjangan tangan manusia untuk dapat memanfaatkan alam dan sesuatu yang ada di sekelilingnya secara lebih maksimal. Dengan demikian, secara sederhana teknologi bertujuan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan manusia.4
Seiring dengan berkembangnya ilmu, yakni dengan semakin bercabangnya berbagai gugus ilmu yang ada menjadi lebih spesifik dan khusus, maka kemudian muncul disiplin teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan dalam pengertian yang sederhana adalah satu sistem yang meliputi alat dan bahan media, organisasi, yang digunakan secara terencana untuk mendukung proses pembelajaran. Seperti halnya teknologi pada umumnya, dalam disiplin ini, teknologi dibahas sedemikian rupa untuk memberikan sesuatu yang baru dan mencerahkan bagi aktivitas pembelajaran. Jadi, bisa disebut, untuk efisiensi dan efektivitas, agar kegiatan pembelajaran menjadi menyenangkan, dan semacamnya. Ada yang menyebutkan beberapa manfaat teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan sebagai berikut: (1) meningkatkan motivasi siswa; (2) digital portofolio efektif dan efisien; (3) menambah wawasan dan cakrawala berpikir; (4) menumbuhkan jiwa kebersamaan; (5) menjadi alat ukur konsep pembelajaran yang kita lakukan dengan sekolah dari negara lain.5
Salah satu manfaat penting yang dapat ditemukan dari penggunaan perangkat teknologi dalam kegiatan pembelajaran adalah soal akses.Teknologi informasi dan komunikasi mempermudah kita untuk mengakses sumber-sumber informasi dan pengetahuan. Internet adalah contoh yang paling mudah dikemukakan. Dengan internet, kita dapat mengakses jutaan sumber informasi yang dibutuhkan dengan sangat mudah. Saat ini, di internet cukup banyak website yang menyediakan bahan-bahan yang sangat menarik untuk ditampilkan dan dipergunakan di ruang pembelajaran di sekolah. Selain itu, fasilitas surat elektronik dan grup diskusi (mailing-list) dapat menjadi media komunikasi yang sangat bermanfaat.
Selain sebagai sumber informasi dan media komunikasi, internet juga dapat berfungsi sebagai media publikasi yang murah, mudah, dan mendunia. Belakangan ini, populer sekali penggunaan fasilitas weblog di internet. Weblog adalah semacam catatan harian yang dapat ditampilkan di internet. Banyak situs yang menyediakan tempat untuk ngeblog, mulai dariBlogger yang merupakan bagian dari Google, atau jurnal di Multiply. Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa weblog yang cukup populer bahkan telah diterbitkan menjadi buku oleh beberapa penerbit. Salah satu di antaranya adalah karya penulis cilik Abdurrahman Faiz yang berjudulPermen-Permen Cinta Untukmu (DAR Mizan, 2006).
Internet hanya salah contoh dari teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas pembelajaran. Selain itu, sebenarnya banyak piranti lunak (software) yang telah dibuat yang sangat mendukung untuk media pembelajaran, baik produk lokal maupun produk perusahaan sekelas Microsoft. Kita, misalnya, mengenal Microsoft Encarta Encyclopedia, yang sejak edisi terbaru dirilis dengan nama Microsoft Student 2008.
Selain piranti lunak yang sudah jadi, media komputer juga menyediakan berbagai piranti lunak yang sangat membantu dan dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Mulai dari pengolah kata, pengolah data numerik, hingga data visual. Berbagai piranti lunak itu memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan dan membuat kegiatan pembelajaran lebih mudah, menarik, dan menghibur. Macromedia Flash misalnya, menginspirasi guru untuk menggunakan media animasi flash sebagai media pembelajaran yang lebih menarik dan mudah dicerna.6
Dari Soal Teknis Hingga Mental
Gambaran fasilitas yang disediakan oleh berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang sangat mendukung untuk kegiatan pembelajaran sungguh sangat memberi harapan bagi model pembelajaran yang lebih baik. Akan tetapi, kenyataannya, pemanfaatan berbagai perangkat teknologi itu tidak semudah yang kita bayangkan. Membayangkan manfaat dan kemudahan yang akan didapat dari teknologi untuk pembelajaran memang terasa indah. Meski demikian, mencoba merancang pemanfaatan teknologi di sekolah akan mengantarkan kita pada sejumlah masalah di lapangan, mulai dari yang sifatnya teknis hingga yang terkait dengan aspek mental (kebudayaan) dalam pengertian yang lebih luas.
Situs www.e-pendidikan.net, misalnya, secara kritis mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan internet dan pendidikan.
Internet Masuk Sekolah - Mengapa?
Internet adalah "Alat Bantu", bukan "Solusi Pendidikan" (di tingkat Sekolah). Internet (tanpa bahasa Inggris) sebagai sumber informasi yang sangat terbatas. Bahan pelajaran (dalam bahasa Indonesia) juga sangat sedikit. Kelihatannya kurikulum kita juga tidak berbasis-penelitian, jadi untuk apa Internet di sekolah? Internet di sekolah jelas bukan prioritas kan?
Kutipan di atas mengajukan sejumlah pertanyaan yang bahkan terasa cukup mendasar tentang pemanfaatan internet sebagai media pendukung pembelajaran, yang mungkin juga dapat berlaku pada perangkat teknologi lain pada umumnya. Kemampuan berbahasa Inggris, misalnya, dipertanyakan, karena tanpa itu, internet—dan juga perangkat atau produk teknologi yang lain—akan menjadi kurang maksimal nilai manfaatnya. Seorang teman yang kurang menguasai bahasa Inggris pernah berseloroh kepada saya dengan berkata: “Andai Encarta ada versi bahasa Indonesianya, alangkah enaknya.”
Tenaga kependidikan di Madura pada khususnya tak hanya bermasalah dengan penguasaan bahasa Inggris untuk dapat memaksimalkan perangkat dan produk teknologi untuk pembelajaran—bahkan, di kalangan terdidik semacam mahasiswa, kemampuan berbahasa Inggris masih menjadi masalah yang cukup serius. Para guru di Madura bahkan sebenarnya juga masih cukup bermasalah dengan keterampilan mendasar untuk menggunakan perangkat teknologi komputer. Tak hanya tentang keterampilan praktis, bahkan kadang saya menduga kuat bahwa pemahaman mendasar sebagian kalangan terdidik di Madura terhadap internet masih cukup jauh dari cukup. Salah satu kasus yang cukup sering ditemui adalah ketidakmampuan mereka membedakan antara alamat email dan alamat website, sehingga—menurut cerita seorang kawan—di sebuah papan nama instansi pemerintah daerah di Madura tercantum alamat email yang didahului dengan “www” yang semestinya digunakan dalam alamat website. Ini mungkin dapat dimaklumi, karena menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2003 pengguna internet di Indonesia berjumlah sekitar 8 juta atau 3,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Meski untuk tahun 2004 diperkirakan akan bertambah menjadi 12 juta, jumlah ini terbilang masih jauh dari persentase yang signifikan.7
Selain pertanyaan tersebut di atas, situs www.e-pendidikan.netjuga mengemukakan data yang menyebutkan bahwa 30 ribu desa di Indonesia belum teraliri listrik.8 Persoalan teknis semacam ini patut menjadi perhatian penting karena listrik adalah basis dan syarat utama dari penggunaan teknologi. Di Madura, atau paling tidak di desa saya (Guluk-Guluk), masalah listrik menjadi masalah yang cukup serius. Tulisan ini saja, misalnya, disusun di antara hari-hari yang penuh dengan pemadaman listrik—mungkin karena cuaca dan angin yang tak cukup bersahabat—sehingga menjadi cukup tersendat, karena sebagian besar data yang dibutuhkan tersimpan dalam bentuk digital di komputer.
Lebih jauh, kutipan di atas sebenarnya juga mempertanyakan arah kurikulum sekolah yang kurang memberi dorongan kepada siswa untuk meneliti dan berkreativitas secara mandiri. Dengan kata lain, mempersoalkan kultur, mentalitas, atau tradisi belajar di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. Jika mental belajar masih belum kokoh, lalu untuk apa internet akan digunakan?
Masuknya sebuah produk ilmu pengetahuan pada umumnya dan teknologi pada khususnya menuntut keterbukaan sikap kultural masyarakat untuk proses integrasi yang lebih baik. Tanpa integrasi ilmu atau produk teknologi dengan kebudayaan yang menerimanya, maka yang akan muncul adalah gejala disintegrasi antara pengetahuan ilmiah dan sikap ilmiah. Penerapan sebuah teknologi tertentu dalam suatu masyarakat, misalnya, menuntut kedisiplinan yang—secara relatif—tinggi dalam pemanfaatannya, sehingga berlaku kaidah: semakin tinggi suatu jenis teknologi maka semakin kecil kekeliruan yang diizinkan.9
Dalam konteks pembelajaran, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi menuntut keterbukaan sikap dan mental dari civitas kependidikan untuk mengubah paradigma atau cara pandang mereka terkait dengan aktivitas kependidikan. Yuyun Estriyanto menyebutkan beberapa perubahan budaya pembelajaran yang patut diperhatikan. Di antara yang disebutkan yang menarik untuk dicermati adalah bahwa, dengan pemanfaatan teknologi, guru tak lagi menjadi satu-satunya sumber otoritas atau sumber informasi, karena teknologi mengubah sumber pengetahuan menjadi tak terbatas. Jadi, guru kadang kemudian lebih berperan sebagai pendamping, pengarah, atau fasilitator.10
Untuk lingkungan pendidikan di Madura, mengubah cara pandang guru untuk dapat bersikap lebih terbuka, dalam pengertian terbuka bahwa dirinya bukan satu-satunya sumber otoritas pengetahuan dalam aktivitas pembelajaran, mungkin dapat dikatakan gampang-gampang susah. Memang, dalam khazanah tradisional pesantren yang lekat di Madura, kerendahan hati atau sikap tawâdhu‘ untuk menempatkan otoritas tertinggi pengetahuan hanya pada Yang Mahatahu sudah menjadi pengetahuan umum dan cukup mentradisi. Bahkan, dalam kitab-kitab karya ulama klasik, selalu ada ungkapan khas “wallahu a‘lam” yang menyiratkan landasan epistemologis sikap semacam ini.11 Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa karena sekolah formal yang ada secara umum cenderung mengadopsi pendidikan bergaya bank—meminjam istilah Paulo Freire—maka otomatis otoritas pengetahuan nyaris hanya diidentikkan dengan guru. Dalam pendidikan dengan gaya bank, kreativitas siswa kurang diperhatikan. Anak didik diperlakukan sebagai bejana kosong yang diisi pengetahuan oleh para guru. Guru dipandang tahu segalanya, dan murid tidak tahu apa-apa. Guru berbicara, murid mendengarkan. Guru adalah subjek proses belajar dan murid adalah objeknya. Guru memilih bahan dan isi pelajaran dan murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan isi pelajaran itu.12
Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, dalam masyarakat kita otoritas dan sumber pengetahuan sering kali hanya selalu diidentikkan dengan sekolah. Menurut Ivan Illich, pandangan populer seperti ini sangat bias kapitalis. Sekolah, lanjut Illich, adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalistik. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket untuk memperoleh sertifikat (ijazah). Sertifikat ini nantinya akan digunakan sebagai alat legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia—menjadi sekrup dalam mesin besar kapitalisme. Sekolah justru cenderung berdampak anti-edukasi terhadap masyarakat, karena sekolah lalu diakui sebagai satu-satunya spesialis lembaga pendidikan. Padahal, dalam situasi ini, sekolah adalah lembaga yang dibangun atas dasar anggapan bahwa kegiatan belajar adalah hasil dari kegiatan mengajar. Guru dianggap sebagai pengawas, pengkhotbah, sekaligus ahli terapi untuk memberi petuah-petuah moral. Jadilah guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga berfungsi sebagai ideolog, hakim, dan dokter, yang menentukan masa depan peserta didik.13
Nah, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan pendidikan paling tidak dapat pula berperan membantu mendekonstruksi pandangan tradisional tentang posisi dan otoritas guru serta sekolah seperti tergambar di atas. Dengan demikian, pertanyaannya adalah: apakah secara kultural masyarakat pendidikan kita sudah memiliki kesiapan mental untuk itu?
Persoalan atau tantangan kultural lainnya yang dapat dikemukakan di sini adalah soal ketegasan orientasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran. Apakah perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang ada akan dapat maksimal dimanfaatkan untuk aktivitas pembelajaran? Lebih tepatnya, siapkah kita mengarahkan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut? Apakah internet tidak hanya dijadikan tempat ngobrol, bukan sebagai sumber informasi dan tempat berdiskusi? Berkaitan dengan ini, tak heran jika Onno W. Purbo, praktisi IT terkemuka, menggarisbawahi bahwa internet membutuhkan masyarakat baca-tulis yang kuat. Artinya, butuh kultur belajar yang kuat, untuk dapat memberi hasil yang optimal.14
Salah satu cerminan yang cukup menarik—dan mungkin juga cukup menggelitik—dari pemanfaatan teknologi internet di Indonesia dapat terbaca dari sumber data hasil penelitian ClearCommerse.com, sebuah situs e-security (pengamanan elektronik), yang pada tahun 2000 hingga 2001 melakukan penelitian atas 40.000 ribu pelanggan, 1.137 merchant, dan 6 juta transaksi. Survei tersebut menyatakan bahwa dalam hal fraudatau carder, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia, di antara Ukraina dan Yugoslavia. Fraud atau carder adalah pelaku transaksi di toko online di internet dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain tanpa izin—alias mencuri. Data tersebut menjelaskan bahwa 20 persen transaksi kartu kredit dari Indonesia dilakukan oleh carder—di Amerika kurang dari satu persen.15 Data semacam ini menunjukkan bahwa internet kadang menjadi media yang lepas kendali, yang kurang lebih disebabkan oleh kesiapan mental para penggunanya.
Karena itu, pengarahan yang intensif, terencana, dan menyeluruh perlu sekali dilakukan agar fasilitas teknologi yang ada dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan pendidikan dan peradaban. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan di sini adalah bagaimana komunitas SMP Qaryah Thayyibah yang dikelola oleh Ahmad Bahruddin di Salatiga dapat memanfaatkan media internet sebagai pendukung kegiatan belajar. Bahkan, pada tingkat tertentu, membantu mendorong kreativitas anak dalam belajar dan berkarya. Dr. Naswil Idris, dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity yang berpusat di Bangkok menyetarakan komunitas SMP Qaryah Thayyibah di Salatiga dengan tujuh komunitas pengguna internet dan komputer terbaik di dunia. Diceritakan bahwa mula-mula memang ada keraguan untuk memperkenalkan internet kepada siswa yang masih duduk di bangku SLTP, sampai akhirnya dipertimbangkan bahwa sebelum bersentuhan dengan hal-hal yang negatif, siswa diajarkan menggunakan internet untuk belajar dan memperluas wawasan ke sumber informasi yang tak terbatas itu.16 Di antara hasil kreativitas siswa di sana, terbitlah buku hasil penelitian tiga orang siswa SMP Qaryah Thayyibah, yakni Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah, berjudul Lebih Asyik Tanpa UAN (LKiS, Januari 2007).17
Sikap mental yang masih menjadi persoalan dalam kaitannya dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan dapat pula ditemukan dalam kasus proyek-proyek pemerintah.Pada tahun 1996, pemerintah mulai mencanangkan program pengembangan teknologi informasi dan komunikasi bernama Nusantara 21. Sayangnya, proyek prestisius yang pada 1997 mendapatkan bantuan Bank Dunia senilai US$ 34,5 juta itu akhirnya berakhir dengan kegagalan. Dana ratusan juta rupiah menguap hanya untuk membayar para ahli dan hanya menghasilkan konsep yang tertuang dalam buku.18 Setali tiga uang dengan kasus ini, situs www.e-pendidikan.net menyorot beberapa situs pemerintah yang dikelola di bawah Departemen Pendidikan Nasional yang sudah lama sekali tidak diupdate. Contohnya: www.pustekkom.go.id(website Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan),www.perpustakaan.diknas.go.id, dan sebagainya.
Kutipan lainnya dari situs tersebut menulis demikian:
Walapun kita sangat mendukung pelajaran teknologi, kita juga harus menjaga bahwa "teknologi pelajaran", yang hanya sebagai beberapa medium untuk menyampaikan pendidikan dan belum tentu meningkatkan mutu pendidikannya, tidak menjadi fokusnya mamajemen pendidikan sampai merugikan aspek-aspek lain yang betul dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Misalnya, JarDikNas. Salah satu tujuan utama adalah meningkatkan mutu pendidikan lewat informasi yang lebih lengkap. Tetapi kelihatannya informasi mengenai masalah-masalah di lapangan sudah banyak sekali. Termasuk informasi mengenai keadaan di banyak sekolah yang ambruk dan mengancam keamanan anak-anak kita. Kapan masalah-masalah begini akan diatasi?19
Apakah ini berarti bahwa para petinggi kita yang mengurusi soal pendidikan masih bermental proyek, termasuk juga dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi?
Salah satu contoh lain yang juga bisa dikemukakan di sini adalah maraknya upaya penerapan E-Government di beberapa daerah. Pemerintah Daerah atau instansi pemerintah berlomba meluncurkan situs resmi mereka. Pertanyaannya: apakah upaya seperti itu akan dapat memberi dampak yang terlihat nyata bagi upaya pembangunan? Jika situs atau media internet secara umum dilihat sebagai upaya untuk memudahkan akses, apakah situs semacam itu akan cukup efektif untuk memberi akses kepada masyarakat atas informasi publik dan mempermudah akses mereka untuk menyalurkan aspirasi?20 Onno W. Purbo misalnya mengatakan bahwa dalam kasus semacam ini mungkin yang lebih tepat bukan situs, tetapi email. Buatkan akun email untuk instansi, dan pastikan bahwa email yang masuk akan direspons dengan langkah nyata. Jika seperti ini, baru akan terlihat manfaat kemudahan akses yang diberikan oleh perangkat teknologi.21
Mesin-Hasrat Teknologi
Felix Guattari dan Gilles Deleuze, pemikir Posmodernis, mengemukakan sebuah konsep yang cukup kontekstual untuk diangkat di sini, yakni Mesin Hasrat (Desiring Machine). Mesin Hasrat adalah sebuah mekanisme psikis dalam psikoanalisis yang fungsinya memproduksi dan mereproduksi hasrat, sehingga ia selalu menginginkan sesuatu yang lain.22Konsep Mesin Hasrat ini rasanya cukup tepat untuk menggambarkan realitas perkembangan teknologi saat ini, yang dalam konteks kerangka pembicaraan tulisan ini akan menjadi semacam tantangan yang harus dijawab dalam upaya optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Teknologi, pada tingkat tertentu, telah mencipta dunia tersendiri yang berkembang sedemikian rupa dengan begitu pesat. Gerak laju perkembangan teknologi yang cukup luar biasa ini kurang lebih dapat dilihat sebagai didorong oleh Mesin Hasrat. Dorongan Mesin Hasrat ini mengintensifkan interaksi antara sains dan teknologi. Jika mula-mula sainslah yang melahirkan teknologi, hubungan sains dan teknologi saat ini, menurut Nirwan Dewanto, sudah seperti ayam dan telur.23 Penggambaran yang lebih jelas tentang hal ini dapat dicermati dalam uraian Ignas Kleden atas pemikiran Jurgen Habermas dalam Theory and Practice.
Perkembangan teknik moderen yang kuasiotonom bukan saja berarti bahwa perkembangannya sulit dikendalikan untuk kepentingan manusia, tetapi berarti pula bahwa perkembangan itu sangat sulit dihentikan atau dikurangi kecepatannya. Sebabnya ialah karena ada semacam “etos” dalam kalangan teknisi, bahwa keberhasilan dan prestasi mereka diukur dengan apa yang masih dapat diciptakannya lagi. Efisiensi berubah menjadi nilai. Maka apa yang mungkin secara teoretis, harus pula diwujudkan dandimanfaatkan secara teknis. Dalam bentuk ekstrimnya ini berarti bahwa perkembangan teknik bukanlah dikendalikan atau ditentukan oleh suatu tujuan yang sekaligus menjadi normanya. Yang terjadi adalah sebaliknya: setiap ditemukan teknik baru, segera diusahakan pula bagaimana teknik tersebut dapat dan harus dipergunakan. Maka terlihatlah suatu etik yang aneh: bukanlah tujuan yang menentukan cara, melainkan cara yang menentukan tujuan.24
Posisi teknologi yang relatif otonom ini pada gilirannya menjadikan produk-produk teknologi sebagai satu bagian yang sulit dipisahkan dari gaya hidup. Ketika masih terhitung langka, pemilik telepon seluler dahulu tak hanya memiliki kemudahan berkomunikasi, tetapi juga dapat memiliki rasa bangga dengan kadar relatif tertentu.25 Saat ini, ketika telepon seluler sudah banyak dimiliki orang, tetap saja terlihat jelas bagaimana telepon seluler kebanyakan lebih sering berada dalam kerangka gaya hidup, bukan pada aspek fungsional. Di sekitar kita, cukup banyak orang yang memiliki perangkat telepon genggam canggih dengan fungsi yang tak maksimal. Sementara si pemakai hanya menggunakan fitur telepon dan pesan pendek, telepon canggihnya sebenarnya tak hanya memiliki fasilitas GRPS, tetapi juga Wi-Fi.
Mesin Hasrat yang diturunkan oleh teknologi juga dapat berbentuk aktivitas ilmiah yang tak terpuji. Hasrat terhadap pengetahuan, atau tepatnya terhadap popularitas ilmiah, terkadang berwujud tindakan plagiarisme. Dengan kemudahan sumber informasi yang tersedia di internet dan kemudahan mengolah data dengan komputer, orang kadang terdorong untuk menggunakan sumber-sumber informasi itu secara kurang jujur. Secara pribadi, saya pernah beberapa kali menemukan praktik plagiarisme yang memanfaatkan jasa mesin pencari di dunia maya (yakni Google). Tentu saja, plagiarisme tak harus menggunakan komputer. Akan tetapi, teknologi menyediakan peluang dan kemudahan yang cukup besar untuk melakukannya.26
Penutup
Pemaparan sekilas dalam tulisan ini sebenarnya berupaya untuk memetakan potensi dan tantangan yang harus dijawab dalam upaya pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran. Berbagai catatan penting yang berusaha diajukan dalam tulisan ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai peringatan agar jangan sampai teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran kemudian berubah menjadi semacam “mitos baru”27yang diagung-agungkan tetapi kurang memiliki manfaat nyata yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Era informasi saat ini benar-benar telah melahirkan banjir elektronika, air bah dan apokalipso informasi, yang membutuhkan bahtera penyelamat.28 Wujudnya yang paling tepat mungkin adalah mentalitas dan integritas moral civitas pendidikan dan masyarakat pada umumnya untuk dapat membaca itu semua dalam kerangka kerja peradaban dalam pengertian seluas-luasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar